Spiritualis dan Ekologis Dalam Kelestarian Jagat Manusia dan Seisinya

 

Pecenongan – Konklusi menarik dari pemaparan Khoirotun Nisak, Direktur Program Paramadina Center For Religion and Philosophy (PCRP) dan aktivis Forum Esoterika (Spiritualitas) untuk isu-isu antariman, menarik untuk direnungkan ikhwal bahwa mengintegrasikan spiritualitas, kosmologi baru dan aksi sosial, manusia dapat memainkan perannya sebagai penjaga bumi yang bertanggung jawab. Dan dengan pemahaman yang lebih holistik, menurut Khoirotun Nisak kita (manusia) bisa menciptakan dunia yang tidak hanya lestari tetapi juga harmoni dengan alam.

Pada tingkat kebijakan, pemimpin ekologis dapat mendorong pelaksanaan undang-undang perlindungan lingkungan yang lebih tegas, mendukung investasi teknologi hijau, dan mengadvokasi pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah. Sebab dari pelatihan kepemimpinan ekologis dapat dipetik pelajaran yang menginspirasi bahwa perubahan besar dapat dimulai dari transformasi kecil dengan mengintegrasikan spiritualitas, kosmologi dan aksi sosial yang nyata di bumi. Sebab kepemimpinan ekologis tidak hanya terfokus pada kerangka teori, tetapi tidak kalau penting dalam praktek nyata tanpa hingar bingar yang cuma akan menimbulkan kegaduhan.

Makna keberagaman dapat dipahami sebagai penghormatan serta upaya melestarikan diversity (keragaman) di alam raya yang meliputi segi biologis dan budaya. Keberagaman — sebagaimana dimaknai oleh semboyan bhineka tunggal ika — merupakan kekuatan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Dan semua makhluk hidup — dalam keberagaman ini — memiliki keterkaitan melalui dimensi stau elemen ilahi yang saling melengkapi dan menyatukan dalam esensi ke-Esa- an. Artinya jelas mengisyaratkan bahwa keberadaan manusia tidak dapat mengabaikan makhluk lain bersama alam lingkungan yang menaunginya.

Agaknya, itulah sebabnya dalam kearifan lokal suku bangsa nusantara — jauh sebelum kehadiran agama-agama langit, telah mempunyai kepercayaan terhadap Tuhan (Pencipta), manusia dan makhluk yang ada serta jagat raya dan seluruh isinya.

Menurut Khoirotun Nisak, dari hasil penelitian Our World in Data menunjukkan negara-negara di dunia semakin serius memberi perhatian untuk mengatasi perubahan iklim. Setidaknya, lebih dari 80 persen berbagai negara itu telah membuat rencana aksi jangka panjang yang terukur, termasuk komitmen terhadap penggunaan energi terbarukan. Maka itu, aksi ini hanya akan membuahkan hasil dengan aksi nyata melalui berbagai upaya termasuk sosialisasi dan pendidikan ekologi serta implementasi kebijakan yang mendukung program keberlanjutan. Tidak sporadis sifatnya.

Dampak buruk dari kapitalisme yang dominan melakukan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan, harus dapat segera dikendalikan agar tidak sampai membuat kondisi — bahkan situasi — yang semakin gawat. Oleh karena itu upaya untuk mengurangi konsumsi energi fosil dapat segera ditekan, dikurangi sambil mendukung semua komunitas yang berjuang untuk menjaga kelestarian lingkungan serta mensosialisasikan pola hidup minimalis. Karena dengan cara yang lebih bijak ini, menurut Khoirotun Nisak peran dari konsep spiritualitas ekologis untuk menghargai menghormati hak-hak alam — sebagai ciptaan Tuhan — dapat menjadi bagian dari kesadaran serta pentingnya ibadah. Karena menurut dia, bumi bukan sekedar tempat tinggal, tetapi juga sebuah entitas hidup yang memiliki hak untuk berkembang dan lestari bersama semua makhluk dan seisi bumi yang lain.

Agaknya, itulah yang dimaksudkan dari “re- connecting” dengan Ibu Bumi yang diperjelas oleh Sherly dari Eco Camp erat kaitannya dengan spiritual dan alam, bukan hanya soal kesadaran, tetapi juga ikhwal rasa — kehadiran serta energi kehidupan yang diberikan oleh alam. Dalam.konteks ini, pengakuan pada cinta kasih Tuhan terhadap manusia pantas dan patut serta wajib disyukuri. Begitulah realitasnya kewajiban penghormatan terhadap keberagaman budaya dan ekologis. Sebab kerusakan alam dan lingkungan seperti uraian Murray Bookchin, seorang filsuf ekologi sosial bahwa struktur hierarkis sosial yang mendukung eksploitasi sumber daya alam telah menjadi penyebab memburuknya ketidakadilan sosial dan ekologis di berbagai tempat dan wilayah. Akibatnya, jejak ekologis manusia telah melampaui kapasitas regeneratif bumi sejak tahun 1970-an hingga terus berlanjut sampai sekarang.

Kiranya dalam.perspektif yang lebih membumi, spiritualitas cukup erat keterkaitannya dengan ekologis kelestarian jagat manusia dan seisinya, sebagai anugrah Tuhan yang harus dan wajib kita pelihara bersama, seperti yang diisyaratkan dari paparan Khairotun Nisak yang berjudul “Kepemimpinan Ekologis Menghubungkan Spiritualitas dan Praktik Dalam Merespon Krisis Lingkungan”.

Pecenongan, 28 November 2024